Oleh : Nyoman Indah Mallory
SMA Widya Harapan memiliki ribuan siswa dan deretan loker di sepanjang lorongnya. Namun, ada satu loker yang jarang disentuh oleh siapa pun—loker nomor 13. Letaknya berada di sudut lorong lantai dua, dan setiap siswa tahu bahwa loker itu harus dibiarkan kosong. Konon, bertahun-tahun lalu, seorang siswi bernama Kirani menghilang secara misterius. Satu-satunya petunjuk yang tersisa hanyalah selembar foto sobek yang ditemukan di dalam loker nomor 13. Foto itu memperlihatkan Kirani berdiri di depan loker dengan senyum lebar, namun sebagian wajahnya dirobek habis. Sejak saat itu, loker nomor 13 menjadi legenda di kalangan siswa.
Tapi malam itu, Banu, seorang siswa baru yang tidak percaya takhayul, memutuskan untuk membuka loker tersebut. "Hanya loker biasa. Apa yang bisa terjadi?" katanya sambil tertawa kepada teman-temannya.
“Jangan macam-macam, Nu,” tegur Rania, teman sekelasnya. “Banyak yang bilang pernah mendengar suara dari loker itu.”
“Suara apaan? Itu cuma mitos!” Banu menjawab dengan santai, sambil memasukkan kode kunci yang sudah lama tertempel di kertas kusam di depan loker.
Klik.
Loker nomor 13 terbuka. Awalnya tidak ada apa-apa, hanya gelap dan kosong. Tapi saat Banu mengarahkan senter ponselnya ke dalam, ia melihat sesuatu yang aneh. Sebuah buku catatan usang dengan cover hitam, penuh dengan debu.
“Lihat ini,” katanya sambil menarik buku itu keluar.
Ketika ia membukanya, halaman-halamannya dipenuhi coretan tulisan tangan yang kacau, seperti seseorang menulis dalam keadaan panik. Salah satu halaman bertuliskan, “Jangan buka pintunya. Jangan lihat dia.”
Tiba-tiba, udara di sekeliling mereka berubah dingin. Lampu-lampu di lorong berkedip-kedip, dan bunyi derit pelan terdengar dari dalam loker. Rania mundur beberapa langkah, wajahnya pucat.
“Letakkan kembali, Nu! Cepat!” desaknya.
Namun, sebelum Banu sempat melakukan apa pun, suara langkah terdengar dari ujung lorong, meskipun tidak ada siapa pun di sana. Suara itu semakin mendekat, menyeret seperti sesuatu yang berat.
Mereka berdua menatap ke arah suara itu, dan Rania menyadari sesuatu yang lebih menyeramkan. Bayangan mereka sendiri, yang tercipta oleh lampu berkedip, tampak tidak sinkron dengan gerakan tubuh mereka. Bayangan Banu tampak melangkah mundur menuju loker, meskipun Banu berdiri diam.
“N-Nu... bayanganmu,” bisik Rania.
Banu menoleh dan tertegun. Bayangannya kini sudah berdiri di dalam loker, menatapnya dari dalam. Bayangan itu tersenyum, memperlihatkan deretan gigi yang tidak mungkin dimiliki manusia.
Kemudian, pintu loker menutup dengan keras, membuat mereka terlonjak. Saat Rania mencoba membukanya kembali, loker itu terkunci rapat.
“Banu! Kau di dalam?” teriak Rania.
Tidak ada jawaban, hanya bunyi ketukan pelan dari dalam loker. Ketika Rania memukul-mukul pintu itu, ia mendengar suara Banu, tapi suaranya terdengar jauh, seperti berasal dari tempat lain.
“Jangan buka... Dia ada di sini...”
Rania berhenti. Nafasnya tercekat. Pintu loker perlahan terbuka sendiri, tapi tidak ada siapa pun di dalam. Buku catatan hitam itu kini tergeletak di lantai.
Di salah satu halamannya yang terbuka, tertulis dengan tinta merah, “Satu lagi telah datang. Siapa berikutnya?”
Keesokan paginya, tidak ada yang melihat Banu lagi. Namanya bahkan terhapus dari daftar siswa di sekolah, seperti ia tidak pernah ada. Tapi loker nomor 13 kini terkunci rapat, dan setiap malam, beberapa siswa bersumpah mendengar suara ketukan dari dalamnya.