We have 201 guests and no members online
Mengawali tahun dengan persiapan hari jadi seakan menjadi rutinitas warga SMA Negeri 3 Denpasar setiap tahunnya. Hari ulang tahun SMA Negeri 3 Denpasar yang jatuh pada 17 Januari diselingi dengan berbagai kegiatan menarik. Salah satunya ialah kegiatan bakti sosial. Tak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, kegiatan bakti sosial ini berupa pembagian paket sembako yang berisi beras, gula, hingga minyak. Nantinya, paket sembako akan ditargetkan kepada masyarakat membutuhkan di suatu daerah.
Sebagaimana esensi sesungguhnya dari bantuan kemanusiaan tentu mesti berlandaskan keikhlasan. Bakti sosial adalah simbol kedermawanan yang tak hanya menghadiahkan kebahagiaan tetapi juga pengalaman. Namun, tanpa disadari kegiatan bakti sosial mulai menjauhi makna sesungguhnya. Mayoritas terjadi ketika bakti sosial tak lagi berdasarkan sukarela semata. Kegiatan yang seharusnya mulia mulai tercela akibat keserakahan oknum. Bagi mereka, bakti sosial adalah eskalator untuk mencapai puncak.
Bakti sosial mulai mempertanyakan maknanya. Sebab orang-orang lebih memilih melakukannya tanpa memahaminya. Tak jauh berbeda dengan kegiatan bakti sosial oleh SMA Negeri 3 Denpasar. Sekolah meminta tiap-tiap kelas untuk menyiapkan paket sembako lengkap dengan ketentuan dan spesifikasinya. Padahal makna sukarela adalah atas dasar kemauan sendiri dan tanpa paksaan. Sulit mengatakan hal ini sukarela apabila kebebasan dalam jenis kontribusi masih dibatasi.
Tanpa sadar, muncul beban sosial bagi warga sekolah untuk berpartisipasi. Padahal tak semua kondisi warga sekolah dapat disamaratakan. Bahkan ada beberapa yang jangankan menyumbang, berpikir untuk menghidupi diri di esok hari saja masih sulit. Ini perlu menjadi pertimbangan kedepannya. Karena akhirnya akan jatuh dan bertolak belakang dengan makna awal bakti sosial.
Kegiatan bakti sosial dibawa dengan tujuan yang baik. Tetapi realisasinya di lapangan tak selalu begitu. Koordinasi dalam ketentuan paket sembako mungkin mengefektifkan perencanaan kegiatan. Di sisi lain, makna keikhlasan menjadi abu. Pada akhirnya kemauan sekolah untuk mengadakan bakti sosial memang tidak salah. Namun, bentuk kegiatannya masih perlu dievaluasi. Bagaimana agar bakti sosial menjadi lebih bermakna dan personal bagi kedua pihak. Sekolah perlu membuktikan bahwa bakti sosial bukan sekadar ajang cuci nama, tetapi bentuk kemanusiaan.
Bakti sosial perlu disertakan dengan prinsip tertentu untuk menjaga definisinya. Bakti sosial harus transparan, mengedepankan akuntabilitas, bersifat adil, peduli, serta sukarela. Setidaknya ini yang perlu diperhatikan agar jangan sampai melenceng. Kedepannya sekolah dapat mempertimbangkan fleksibilitas dan komunikasi karena pihak yang terlibat bukan hanya guru tetapi seluruh warga sekolah termasuk para siswa. Bakti sosial bukan tentang materi tetapi kemanusiaan. Jangan sampai yang awalnya berniat membantu malah berakhir membatu. (kay)