Karya: Rico Majesty Daniel Mitra
Teriknya matahari menyinari medan perang. Pemimpin dengan kepiawaiannya dalam mengatur bawahan untuk meraih kemenangan, berperang untuk meraih satu tujuan. Melakukan tugas selayaknya sang pemimpin. Bertindak berdasarkan kemauan beserta egonya dengan terus menurus menuntut para bawahan. Menginginkan kemenangan yang ia selalu nantikan.
“Selesaikan perintah dengan penuh tanggung jawab. Jaga kehormatan nama baik saya ke medan perang,” tegas sang pemimpin. Selepas itu, amanah bernada perintah satu persatu terlontar dari bibirnya. Keegoisan dan kehausan akan kemenangan tersirat dari ucapan sang pemimpin.
Keletihan yang berlanjut dari para bawahan dengan euphoria pukul 2 tengah hari, menuntut mereka layaknya boneka pemenuh hasrat pemimpin.
“Jujur saja, saya sudah lelah dengan perintah ini. Terus menerus kita diberikan perintah tanpa istirahat, selama ini saya sudah menahan semuanya,” keluh salah seorang ‘boneka’.
Keluhan demi keluhan dimuntahkan dari bibir prajurit yang sudah tidak dapat memahami apa yang pemimpinnya pikirkan. Membangkitkan keinginan beberapa prajurit untuk melakukan pemberontakan. Namun apa daya, bawahan tetaplah bawahan. Yang mesti mengikuti semua keinginan atasan meski lelah sekalipun.
“Kemarilah, bawa beberapa temanmu yang kamu percaya. Ada yang ingin saya diskusikan,” ucap salah satu pionir dari kalangan prajurit kepada sesamanya.
Selang beberapa menit, prajurit yang dimaksud membawa rekan-rekannya untuk berkumpul di satu titik sesuai arahan pionir tadi.
“Begini, apa kalian menyadari selama ini? Bahwa sebenarnya, yang kita lakukan selama ini sudah terlalu jauh dari yang pernah beliau janjikan sebelumnya,” ucap sang pionir dengan nada mempengaruhi.
“Selama ini, saya sudah memikirkan hal itu juga. Semakin hari kita hanya mengikuti yang beliau inginkan. Dan perintah tersebut semakin tidak masuk akal bagi bawahan seperti kami,” keluh prajurit lain.
Mencoba mengambil waktu, di sela sela persiapan senjata perang yang diperintahkan pemimpin beberapa jam lalu. Keluhan demi keluhan berlanjut dari semua prajurit yang ternyata mengalami hal serupa selama ini.
“Sepertinya, ada yang harus kita lakukan demi kebaikan kita semua,” celetuk yang lainnya.
“Bagaimana jika kita mengubah dari era perbudakan menjadi era reformasi? Era dimana kita dapat menyuarakan apa yang kita inginkan dan melakukan pekerjaan yang sesuai bagi kita,” lanjutnya dengan nada serius.
Usulan tersebut diberitahukan pada prajurit lain yang tengah sibuk mempersiapkan alat tempur. Tanpa berpikir panjang, semua menyetujuinya. Sebab semua bawahan sudah merasa letih dengan perbudakan selama ini. Langkah kecil dimulai. Dengan menjadikan salah satu prajurit sebagai kepala ‘pasukan reformasi’ untuk mulai melawan pemimpin mereka yang egois nan angkuh.
“Persiapkan seluruh senjata. Dalam waktu satu jam dari sekarang, kita akan maju bersamaan dan membunuh pemimpin. Atau setidaknya kita bisa menangkap beliau,” perintah kepala pasukan reformasi yang sudah ditunjuk. Para prajurit bergegas maju ke wilayah pemimpin angkuh mereka dengan penuh amarah.
Kini target ada di depan mata. Dengan tanpa ampun, mereka mulai menembaki pemimpin mereka sendiri. Tembakan yang meluncur tanpa jeda, menyebabkan tubuh sang pemimpin terluka cukup parah. Kondisi yang sudah tidak mungkin diselamatkan lagi, menjadikan rencana yang sudah mereka susun beberapa jam lalu berhasil. Namun, suatu kejadian yang tidak di tebak oleh para bawahan terjadi.
“CUKUPP!!! Hentikan tembakan yang kalian berikan kepada beliau,” seru kepala pasukan reformasi, tegas.
Secara tidak terduga, salah satu anggota pasukan reformasi sudah menyeludup ke dalam tenda pemimpin kala yang lainnya membabi buta menembaki pemimpin mereka. Ia menemukan secarik kertas yang siap mengejutkan anggota pasukan reformasi yang tengah puas menghabisi pemimpin angkuh tersebut.
Nada yang perlahan menjadi lemas, membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat. Setitik air berhasil lolos dari pelupuk matanya tatkala membaca surat tersebut di dalam hati. Sontak menimbulkan tanda tanya dari kawanan prajurit lainnya.
“Kenapa? Apa yang kamu baca di surat itu?” tanya anggota pasukan reformasi dengan nada kebingungan.
Dengan terbata-bata, penemu secarik kertas itu mulai membuka suara. Menyampaikan isi surat yang sukses membuatnya berlinang air mata. Rupanya pemimpin yang mereka habisi saat ini telah menjadi target pembunuhan dari atasannya, yakni pemimpin dengan pangkat yang lebih tinggi. Sebab segala kesalahan bawahan mesti ditanggung olehnya. Juga berisikan pengancaman pembunuhan dengan cara pengeboman lingkungan dan pemaksaan perbudakan kepada para prajurit, apabila mandat tidak terlaksana sesuai rencana.
“Jadi selama ini, pemaksaan, perbudakan, dan perintah-perintah tidak masuk akal itu bukan ulah beliau? Melainkan ancaman dari atasan beliau? Sungguh, kita telah dipermainkan!” kesal prajurit lain mendengar isi surat yang dibacakan rekannya.
“Dan kalian tahu? Selama ini biaya kebutuhan keluarga kita yang tidak tercantum dalam kesepakatan telah ditanggung oleh beliau,” ucap si pembaca kertas, tak berdaya. Lemas mendapati kenyataan ini.
“Benarkah? Mengapa beliau bahkan tidak memberitahukan hal ini kepada kita? Mengapa kita baru mengetahuinya saat ini? Saat beliau telah menghembuskan napas terakhirnya, bahkan napas itu terhenti di tangan kita sendiri.. Betapa tidak tahu diri kita ini, hiks..”
Penyesalan bercampur tangis menyelimuti seluruh pasukan reformasi yang berniat menuntut kebebasan. Nyatanya mereka justru baru saja membebaskan pemimpinnya dari jeratan atasan yang memaksa untuk bersikap angkuh dan tidak berperikemanusiaan kepada bawahannya selama ini.
Dendam terhadap diri sendiri atas apa yang telah dilakukan kepada pemimpin mereka sudah sangat menguasai pikiran. Menjadikan hal ini sebuah pelajaran dari setiap anggota terhadap diri mereka sendiri. Saat itu juga, dengan rasa hormat para prajurit menguburkan jasad sang pemimpin. Sang pahlawan yang tertutup jubah hitam.